Kamis, 30 Oktober 2008

Tafsir Peribadatan: Agar Tak Kaku Menyikapi Perbedaan



Judul : Tafsir Ibadah
Penulis : H.MA.Sahal Mahfud
ISBN : 979-8452-48-8
Tebal : 14.5 x 21 cm
Harga : Rp35.500,-
Penerbit: Pustaka Pesantren Yogyakarta

Meskipun pada abad XI Masehi Sultan Abdul Kadir pernah menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, pada hakekatnya ijtihad sendiri tidak akan pernah benar-benar mati. Sebab, ijtihad—dalam artinya yang luas—adalah sebuah proses berpikir sehingga menafikannya berarti menggusur eksistensi kemanusiaan, meruntuhkan kenyataan bahwa al-insânu hayawân nâthiq. Oleh karena itu, meskipun di ranah pemikiran Islam kontemporer tidak ditemui adanya mujtahid baru, kegiatan berijtihad tidak pernah sepi.
Dalam konteks hukum Islam (syari’at), ijtihad selalu bersentuhan dengan teks-teks keagamaan, khususnya sumber hukum Islam yang utama, Al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, melakukan ijtihad mensyaratkan pemahaman yang memadai tentang seluk beluk yang berkaitan dengan Al-Qur’an, atau dalam istilah yang lebih spesifik, mampu melakukan penafsiran. Az-Zarqani, dalam kitabnya al-Itqân, menyebutkan bahwa yang disebut sebagai kerja menafsirkan Al-Qur’an adalah usaha untuk menguak maksud dari firman Tuhan yang tertera dalam kitab suci-Nya, sesuai kemampuan manusia. Frasa yang terakhir, “sesuai kemampuan manusia”, menunjukkan bahwa hasil penafsiran bolehlah berbeda mengingat “kemampuan” dan background masing-masing penafsir yang tidak setara. Dari sini, dapatlah dipahami mengapa Nabi Muhammad pernah menjanjikan dua ganjaran bagi para mujtahid—tentu saja para mufassir termasuk di dalamnya—yang menemukan kebenaran, dan satu ganjaran bagi mujtahid yang pendapatnya keliru.
Buku Tafsir Ibadah ini menjadi penting karena berusaha memberikan gambaran bagaimana para mujtahid mengistinbatkan hukum yang berbeda-beda, bahkan dari sebuah ayat Al-Qur’an yang sama. Dan karena itu—meskipun tata aturan (ahkâm) yang terkait dengan peribadatan tampaknya tidak banyak mengalami perubahan—menilik hukum-hukum peribadatan dari sumber aslinya bukanlah hal yang tidak bermanfaat, namun sebaliknya, akan memperkaya wacana ikhtilaf sehingga diharapkan muncul sikap saling menghormati dan saling menghargai pemikiran (baca: ijtihad) orang lain.
Sisi lain dari buku ini, tidak seperti tafsir ahkâm pada umumnya, ia tidak hanya menawarkan pemahaman fikih an sich, namun—sesuai dengan konteks ayat—juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap pemikiran-pemikiran sufistik. Tak pelak, membaca buku ini akan mengantarkan kita kepada pemahaman terhadap makna dan substansi dari peribadatan itu sendiri.
Buku Tafsir Ibadah ini memberikan satu point lagi sumbangan ulama Indonesia—dan pesantren pada khususnya—dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Sejarah mencatat, ulama Indonesia menjadi raja di Asia Tenggara dalam bidang yang satu ini. Ketika ulama di Negeri-Negeri Melayu lain belum mampu menelurkan kitab tafsir sampai hari ini, para ulama Indonesia telah menerbitkan banyak karya tafsir, bahkan yang lengkap 30 juz—mulai dari Tarjuman al-Mustafid karya Syaikh Abdurrauf as-Sinkili (pada abad ke-17), Tafsîr al-Munîr (Marâh Labîd) karya Syaikh Nawawi al-Bantani (pada abad ke-19), Tafsir al-Azhar karya Hamka (pada 1960-an), Tafsir al-Qur’aanul Madjied karya Hasbi ash-Shiddieqy (1964), hingga Tafsir al-Mishbah karya Quraysh Shihab (2005); belum lagi, kitab tafsir dalam bahasa lokal, seperti tafsir berbahasa Jawa karya Mbah Saleh Darat Semarang dan Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa Rembang; belum lagi kitab tafsir tematik atau tafsir surat-surat tertentu. Oleh karena itu, menjadi kebanggaan bagi kami untuk menerbitkan sumbangan berharga dari ulama pesantren yang satu ini.

Meneladani Laku Para Kiai




Judul : Tiga Kiai Khos
Penulis : Ainur Rofiq Sayyid Ahmad
Tebal Buku : xii + 154 Halaman
ISBN : 979 8452 12 7
Harga : Rp 18.500,-



Berbeda dengan kenabian di manapun yang hadir dengan klaim diri, otoritas kekiaian dalam tradisi Islam Nusantara muncul bukan sebagai pembaptisan diri. Sebaliknya, ia muncul sebagai pemberian dari masyarakat. Tentu saja ada prasyarat-prasyarat yang diberikan masyarakat, untuk menyebut orang tertentu sebagai “kiai” atau “tuan guru.”
Salah satunya, seseorang disebut kiai karena dia menguasai pemahaman keagamaan mendalam. Dengan penguasaan ilmunya itu, dia mengajarkannya kepada masyarakat. Ketulusan dan keikhlasan menjadi penanda lain seseorang disebut kiai. Inilah yang disebut “kiai masyarakat.”
Buku ini ingin meletakkan kekiaian sebagai sebuah sejarah, yang tidak tiba-tiba muncul bahwa orang tertentu disebut kiai, misalnya. Sebaliknya, kekiaian ditampilkan sebagai sejarah panjang dari pengabdian seseorang yang mumpuni dalam bidang keagamaan dan masyarakat.
Dalam buku ini, cara menjelaskan kekiaian itu adalah dengan menampilkan tiga sosok kiai sepuh di ujung timur pulau Jawa. Tiga kiai itu adalah KH. Askandar (ayah dari KH. Dawam Iskandar, KH. Noer Iskandar al-Barsany, dan KH. Noer Iskandar, SQ. pendiri PP. Mambaul Ulum); KH. Mukhtar Syafaat, pendiri PP. Darussalam; dan KH. Imam Zarkasy Djunaidi yang membuat PP. Bustanul Makmur berkembang pesat.
Ketiga kiai ini adalah kiai sepuh dari Banyuwangi yang semuanya telah meninggal, namun hasil didikan dan warisan kekiaiannya banyak dipelajari orang. KH. Askandar adalah pejuang kemerdekaan yang pernah mendekam di penjara Belanda; KH. Mukhtar Syafaat adalah pengagum dan pengembang tasawuf Ghazalian; dan KH. Imam Zarkasy Djunaidi dikenal ulung berdiplomasi dan mendamaikan konflik.
Perjalanan sejarah dari tiga kiai ini sungguh merupakan cerita panjang tentang sosok seorang yang pantas disebut kiai. Mereka bukan “kiai sepuhan,” tetapi “kiai sepuh masyarakat”. Di tengah jamaknya orang mengaku sebagai kiai, banyak pelajaran yang bisa diambil dari ketiga kiai ini.

Berjumpa 26 Nabi



Judul : Berjumpa 26 Nabi
Penulis : Argawi Kandito
Tebal Buku : xv + 128 Halaman
ISBN : 979 8452 526
Harga : Rp 27.500,-


Menurut al-Ghazali, panca indera sebagai sarana pemerolehan hakikat pengetahuan sangatlah terbatas. Bahkan, dia sangat kecewa dengan keterbatasan ini. Dia menunjukkan hasil pengamatannya bahwa ternyata tongkat menjadi melengkung ketika dimasukkan ke dalam air. Matanya ternyata menipu keadaan yang sesungguhnya. Tongkat itu masih tetap lurus, namun mata melihatnya sebagai tongkat bengkok. Al-Ghazali melihat, mata sebagai sarana empiris, ternyata sudah “menipu.”
Peristiwa semacam ini bukan tidak mungkin terjadi pada kasus kasus lainnya, termasuk dalam kasus ilmu pengetahuan modern. Sebagaimana disinggung oleh Sayyid Hussein Nasr, manusia modern saat ini telah memberontak melawan Tuhan. Sebab, mereka telah menciptakan sains yang tidak berlandaskan cahaya intelek, namun berdasarkan kekuatan akal (rasio) semata untuk memeroleh data melalui indera. Dan ini berarti, masih menurut Nasr, peradaban modern telah ditegakkan di atas landasan konsep tentang manusia yang tidak menyertakan hal paling esensial dari manusia itu sendiri.
“Kehidupan di dunia ini tampaknya masih tidak memiliki horizon spriritual. Hal ini bukannya horizon spiritual itu tidak ada, namun karena yang menyaksikan panorama kehidupan kontemporer ini sering kali adalah manusia yang hidup di pinggir (periphery atau rim) lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu atau pusat (axis atau centre) lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya dengan jari-jari tersebut.”
Padahal, untuk dapat mencapai level eksistensi, manusia harus mengadakan pendakian spiritual dan melatih ketajaman intellectus. Ditandaskan Nasr, pengetahuan fragmentaris tidak dapat digunakan untuk melihat realitas yang utuh, kecuali jika pada dirinya terdapat visi intellectus tentang “yang utuh” itu. Demikian pula, setiap pengetahuan yang utuh tentang alam ini tidak dapat diraih melainkan harus melalui pengetahuan dari pusat (centre), atau axis karena pengetahuan ini sekaligus mengandung pengetahuan tentang yang ada di pinggir dan juga ruji-ruji yang menghubungkannya. Lebih gamblangnya, manusia dapat mengetahui dirinya secara sempurna, hanya bila ia mendapat bantuan ilmu Tuhan. Sebab, keberadaannya yang relatif hanya akan berarti bila diikatkannya pada Yang Absolut, Tuhan.
Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan salah satu bentuk upaya menembus kebuntuan intelektual dan melompati keterbatasan dunia empiris tersebut. Sebagaimana kita tahu, dan ini harus kita akui, sumber-sumber informasi seputar pengalaman dan kehidupan para nabi sangat terbatas. Jika kita mengandalkan nash-nash yang ada, alih-alih tentang hal-hal yang mendetail, cerita hidup mereka secara garis besar pun terkadang masih kabur dan simpang siur, banyak diperdebatkan dan dipertentangkan (Misalnya, tentang siapakah yang disembelih oleh Ibrahim as., Ismail ataukah Ishak, sampai hari ini masih terus diperdebatkan antara umat Muslim dan umat Yahudi. Sayangnya, Al-Qur’an pun tidak pernah mengatakan secara gamblang bahwa yang disembelih adalah Ismail atau Ishak—Al-Qur’an hanya menyatakan “anak” Ibrahim). Belum lagi perdebatan tentang shahih tidaknya nash yang dijadikan landasan.
Oleh karena itu, buku ini lahir sebagai informasi alternatif tentang kehidupan para nabi yang digali dari alam spiritualitas. Banyak data yang tidak pernah kita temukan di buku-buku sejarah maupun cerita-cerita israiliyat, akan kita temukan dalam buku ini. Sebab, penulis buku ini—seorang remaja yang masih sekolah di SMP—telah mengalami “ketersingkapan” dan “berjumpa” dengan para nabi, lalu bertanya berbagai hal kepada mereka. Tentu saja, percaya atau tidak percaya, seluruhnya diserahkan kepada para pembaca. Namun bagaimanapun, setidaknya banyak informasi baru yang akan pembaca peroleh, yang dapat mengisi keterbatasan data tentang para nabi yang selama ini ada.