Jumat, 25 April 2008

Ijtihad Politik Sang Kiai



Judul: KH. Badri Mashduqi; Kiprah dan Keteladanan
Penulis: Saifullah
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2008

Kiai Badri Mashduqi adalah seorang Kiai asal Probolinggo yang menjadi terkenal karena ijtihad politiknya pada masa pemerintahan Soeharto. Waktu itu, pada pemilu 1997, terjadi kegamangan di perpolitikan indonesia; apakah soeharto harus tetap maju atau tidak. Nah, Kiai Badri melakukan istikharah, dan ia bermimpi berada di dekat Ka'bah, lalu ada Soeharto, dan kemudian ada suara yang diyakini sebagai suara Nabi Muhammad, "Kutitipkan Indonesia kepadamu, Soeharto!" Atas mimpinya inilah, dia berkesimpulan untuk mendukung pencalonan kembali Soeharto. APalagi, kala itu belum ada kader pemimpin yang mantap yang dapat menggantikan Soeharto...

***
"Saya kenal pertama dan terpikat dengan KH. Badri Mashduqi. Pada tahun 70-an, di forum Bahtsul Masail Yogyakarta, beliau lantang bicaranya, kuat referensinya. Forum bathsul masail bisa hidup kalau ada beliau. Beliau juga aktif di halqah-halqah yang diadakan oleh P3M. Dengan kerendahan hatinya, beliau sering berbagi pengalaman dan terbiasa kumpul dengan anak muda NU. Beliau terkenal keberaniannya. Dari KH. Badri Mashduqi, tidak ada yang disembunyikan, kalau prediksi-prediksi yang dilakukan Kiai Badri ada yang meleset, itu sudah hal yang biasa,dan merupakan suatu pilihan, dengan lapang dada menerima pendapat orang lain. Beliau adalah Kiai yang sangat aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keilmuan. Dan beliau juga aktif mengikuti perkembangan ilmu/wacana-wacana baru." (Komentar KH. Masdar Farid Mas’udi Jakarta)

Sang Maha Guru Pesantren



Judul: Sayyid Ulama Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani
Penulis: Samsul Munir AMin
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2008
(Segera Terbit)

Umat Islam Indonesia dalam sejarahnya pernah melahirkan beberapa ulama berkaliber dunia, salah satunya adalah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Syaikh Nawawi adalah orang Indonesia asal Banten yang merantau, menuntut ilmu, dan meniti karier sebagai ulama-pengarang di Makah. Reputasinya sebagai ulama-pengarang besar telah mengangkat citra Indonesia dan bangsa Melayu di kancah keilmuan Islam Dunia.
Tampilnya Syaikh Nawawi seakan mempertegas kenyataan bahwa pengetahuan bukan privilese bangsa atau ras tertentu. Pengetahuan adalah cahaya yang menerangi tanah dan bangsa mana pun, menghapus gelapnya fanatisme dan kebodohohan. Hasrat manusia untuk menghapus gelapnya fanatisme dan kebodohan ini adalah sesuatu yang alamiah dan asasi, hasrat yang pada akhirnya mendorongnya untuk mencari pengetahuan di mana saja ia berada. Barangkali dari sini cerita perantauan dan pengembaraan ilmiah itu bermula. Orang rela meninggalkan tanah airnya demi memeroleh pengetahuan dan penerangan.
Ini pula yang terjadi pada diri Syaikh Nawawi. Kondisi-kondisi kolonial yang menjangkiti bangsa dan tanah airnya dengan ciri utama pembodohan dan penghisapan membuatnya berprihatin dan bertekad untuk hijrah dan membangun kantong perlawanan baru yang diharapkan bisa memberi penerangan buat bangsanya sendiri. Pilihan Syaikh Nawawi jatuh ke Makah. Di sana dia mendapat keleluasaan untuk memperoleh pemahaman dan pada gilirannya memberi pemahaman kepada sejawat-sejawatnya setanah air yang menyusulnya hijrah dan lantas pulang lagi ke negerinya demi memberi penerangan. Oleh karena itu, paling tidak ada dua misi pengembaraan intelektual Syaikh Nawawi ke Makah, yaitu “mencapai” pemahaman dan “memberi” pemahaman. Dua misi tersebut tampaknya betul-betul tercapai.
Di Makah, Syaikh Nawawi mengaji kepada para ulama besar dari berbagai dunia. Ghirah intelektual Syaikh Nawawi yang menyala-nyala mendapat pemenuhan yang luar biasa. Dia lantas tampil sebagai ulama besar yang diakui integritas ilmunya oleh para ulama dunia. Keulamaan Syaikh Nawawi kian mencorong lantaran sisi kepengarangannya yang juga menonjol. Dia adalah pengarang puluhan kitab tentang berbagai disiplin ilmu agama yang hingga kini tetap dan terus dikaji dan dipakai oleh perorangan dan lembaga pendidikan di tanah Arab, di Asia Tenggara, lebih-lebih di tanah air. Para santri dan kiai di tanah air telah lama akrab dengan karya-karyanya, dari Tafsîr al-Munîr, Sullam at-Taufîq, Marâqî al-Ubûdiyyah, Nashâih al-‘Ibâd, Qâmi’ ath-Thughyân, Kâsyifat as-Sajâ, Nihâyah az-Zain, sampai Uqûdu al-Lujain. Pengakuan dunia terhadap keulamaan dan kepengarangan Syaikh Nawawi tampak dari diijinkannya dia mengajar di Masjidil Haram dan pemberian gelar “Sayyid Ulama Hijaz” (Pemimpin Ulama Makah dan sekitarnya) kepadanya.
Tidak hanya itu. Di Makah, Syaikh Nawawi juga merupakan guru dari para pemuda asal Indonesia. Dia memberi pemahaman dan inspirasi keagamaan yang menjadi amunisi perjuangan kemerdekaan di tanah air. Ya, inilah yang dikhawatirkan pihak Belanda. Maka, diutuslah Snouck Hurgronje untuk membikin telaah dan laporan tentang sepak terjang dia dan para pemuda Indonesia yang menjadi muridnya. Kekhawatiran Belanda memang bukan isapan jempol. Sepulang ke tanah air, para mantan murid Syaikh Nawawi langsung menjelma menjadi para pemimpin agama dan masyarakat yang menggerakkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Para murid itu, sebut saja, misalnya K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU dan Pahlawan Nasional), K.H. Wasith (ulama dan pemimpin pemberontakan melawan Belanda di Cilegon), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan Kiai Kholil Bangkalan (tokoh kharismatik dari Madura).
Peran dan ketokohan Syaikh Nawawi yang semacam ini mestinya menjadi inspirasi kita untuk terus berjuang memperbaiki pendidikan dan nasib khalayak luas. Sebab, bagi kita—dan tentu juga bagi Syaikh Nawawi—pengetahuan bukan demi pengetahuan itu sendiri. Ia mesti memihak, mengilhami, dan melahirkan tindakan. Ya, tindakan yang mengabdi pada kemaslahatan kalangan luas.
[]

Kamis, 10 April 2008

MULANYA

Bismillah...
Pesantren adalah jiwaku
Kiai jantung darahku
Santri tulang kulitku
Dan kata...
Ekspresiku