Selasa, 08 Maret 2011

SALAFI WAHABI DAN PEMBUNUHAN ATAS NAMA PEMBARUAN ISLAM (TAJDID)



Wabah takfîr (pengkafiran), tasyrîk (pemusyrikan), tabdî’ (pembid’ahan) dan tasykîk (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama Alussunnah wal Jamaah marak terjadi akhir-akhir ini. Terkadang, golongan Alussunnah wal Jamaah (Aswaja) pun dibuat kerepotan dalam menghadapi wabah ini, apalagi ketika pihak pendebat membungkus diri mereka dengan embel-embel “salaf” yang mana hal itu sangat diagungkan dan dihormati dalam tradisi Aswaja.

Buku ini bisa menjadi tameng bagi Anda dari penyimpangan yang dihembuskan oleh sekte Salafi Wahabi, sekte yang menamakan diri mereka dengan embel-embel “salaf” tetapi ternyata sangat jauh dari spirit para ulama “salaf”. Secara tuntas, buku ini memaparkan tentang:

• Kebenaran 17 (tujuh belas) ramalan Nabi Muhammad Saw. akan kehadiran sekte Salafi Wahabi berikut ciri-ciri mereka yang terangkum dalam sabda-sabda beliau.
• Tinjauan kritis terhadap kerancuan konsep “Manhaj Salaf” berikut propaganda “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” yang diusung Salafi Wahabi.
• Sejarah sekte Salafi Wahabi yang dipenuhi dengan darah dan kekerasan atas nama agama berikut kepentingan-kepentingan tersembunyi di balik pendiriannya.

============================
“Saya sangat bergembira dengan adanya karya ilmiah dari Saudara Syaikh Idahram ini yang merupakan satu karya penting bagi masyarakat muslim Indonesia. Bisa dikatakan, belum ditemukan karya setajam ini sebelumnya dalam mengkritisi Salafi Wahabi.” (Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama [PBNU]) ============================
“Saya rasa, rumah-rumah setiap muslim perlu dihiasi dengan buku penting seperti ini, agar anak-anak mereka juga turut membacanya, untuk membentengi mereka dengan pemahaman yang lurus. Islam adalah agama yang lembut, santun dan penuh kasih-sayang.” (Ust. H. Muhammad Arifin Ilham, Pimpinan Majelis Zikir az-Zikra Jakarta)
============================
“Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam. Buku ini layak dibaca oleh siapa pun. Saya berharap, setelah membaca buku ini, seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih-sayangnya, rukun dengan saudaranya, santun dengan sesama umat, lapang dada dalam menerima perbedaan, dan adil dalam menyikapi permasalahan.” (KH. Dr. Ma’ruf Amin, M.A., Ketua Majelis Ulama Indonesia [MUI])
============================

Jumat, 07 Januari 2011

The Secrets of GUS DUR LEADERSHIP


Ajaran Rasulullah secara tegas menyatakan, janganlah membenci musuh dengan “sebenar-benar benci”, karena bisa jadi suatu saat dia menjadi orang yang pal
Terbitkan Entri
ing “potensial” untukmu. Apalagi, untuk orang sekelas Gus Miek dan Gus Dur, sudah pasti terlalu remeh bila harus mencurahkan pikiran, tenaga, dan waktu hanya untuk memikirkan orang-orang yang dianggap lawan." (hlm. 63)



GUS MIEK ADALAH pemimpin spiritual bagi kalangan akar rumput di tanah Jawa, sementara Gus Dur adalah pemimpin yang pernah menjadi tokoh nomor satu di negeri ini. Jika Gus Dur memilih berkiprah di tingkat nasional maka Gus Miek lebih memilih berdakwah di lembah hitam kemaksiatan, mulai dari diskotek, arena perjudian, hingga lokalisasi.... Meskipun berbeda wilayah perjuangan, kedua tokoh besar ini ternyata memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang tidak jauh berbeda.

Buku ini mengajak kita membongkar prinsip-prinsip yang mengantarkan Gus Dur dan Gus Miek menjadi pemimpin sejati itu; pemimpin yang teramat dicintai rakyat, pemimpin yang namanya tetap melekat di hati umat meskipun keduanya telah (lama) wafat. Buku ini saya rekomendasikan kepada Anda, terlepas apapun profesi Anda. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah, setiap diri kita adalah pemimpin pada ranahnya masing-masing yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya.


=============
Kode Buku : PP0104
Judul Buku : LEADERSHIP SECRETS OF GUS DUR - GUS MIEK
Penulis : M. N. Ibad
ISBN 10 : 979-8452-92-5
ISBN 13 : 978-979-8452-92-5
Halaman : 218 hlm
Kertas / Ukuran : Book Paper / 12 x 18 cm
Cetakan : I, Desember 2010
Katagori : Leadership/Kepemimpinan
Penerbit : PUSTAKA PESANTREN Yogyakarta
Harga : Rp. 35.000,-

Kamis, 18 November 2010

Manusia Ingin Hidup Selama Mungkin...




Penulis : Ahmad Shams Madyan, Lc.
Tebal : xviii + 98 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
ISBN 13 : 978-979-8452-89-5
Harga : Rp 19.900,-



Manusia hidup dalam ketidakpastian. Apa yang terjadi esok—apakah situasi ekonomi makro-mikro, kondisi politik, sakit, sehat, tiba-tiba kaya atau sebaliknya, dicaci, dipuji, sepi, ramai, susah, bahagia, dan sebagainya—tak ada yang tahu. Tapi semua manusia tahu dengan pasti sebuah kenyataan yang juga pasti terjadi: bahwa pada akhirnya ia akan mati.

Kematian adalah fakta dalam kehidupan. Dan selayaknya fakta, ia dipandang dari perspektif yang berbeda. Karena mati adalah pasti, kenapa kesempatan hidup tidak dipakai semaksimal mungkin untuk senang-senang? Membuang segala yang menyulitkan, termasuk norma-norma, nilai-nilai, aturan dan etika, atau apa pun dan dari mana pun datangnya. Tabrak saja semuanya. Mumpung hidup, mumpung belum kehilangan hidup.

Akan tetapi, ada juga yang memandang sebaliknya. Karena mati adalah pasti, tentu hidup harus berarti. Kematian tidak perlu ditakutkan, tapi takutkanlah umur panjang yang tiada guna walau sejengkal. Umur panjang, selayaknya menjadi penentu panjang-pendeknya kebaikan yang dilakukan.

Dari dua gelombang besar pandangan manusia akan kematian di atas, tentu setiap muslim mengetahui mana yang harus dipilihnya. Kumpulan hadits yang kini di tangan pembaca, yang secara keseluruhan berbicara tentang manajemen usia, dengan demikian dapat dianggap sebagai azan pengingat waktu shalat. Setiap pengingat, adakalanya memang tidak menarik, juga menjengkelkan. Meski demikian, nyatanya hingga kini azan tetap dikumandangkan; padahal setiap muslim tahu bahwa waktu Dhuhur tak jauh dari pukul 12.00, misalnya. Ketika azan bersahut-sahutan, apalagi di tengah siang, adakalanya—dimungkiri atau tidak—seorang muslim merasa terganggu. Akan tetapi, jika aliran listrik mati, azan tak terdengar, ia merasakan sesuatu yang hilang.

Sebagai pengingat, hadits-hadits dalam buku ini diharapkan membawa pembaca ke kehidupan yang lebih bermakna. Kehidupan yang penuh ketenangan dan barakah sehingga menjadi bekal menghadapi sang kepastian: mati.
Demikianlah.Umur adalah modal hidup di dunia. Bagaimana mengisi umur dengan hal-hal berguna menjadi sesuatu yang penting artinya. Buku ini berisi tips-tips dari Rasulullah Saw. terkait bagaimana seseorang mesti memanfaatkan umurnya dan beberapa rahasia amalan yang dapat memperpanjang usia.

PIKIRAN NAKAL SAAT MENUNAIKAN HAJI



Penulis : KH. A. Aziz Masyhuri
Tebal : xvi + 132 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
ISBN 13 : 978-979-8452-91-8
Harga : Rp. 24.900,-

Hikmah dan rahasia merupakan hal yang menarik perhatian bagi manusia yang mempunyai daya pikir yang tajam dan hati yang lembut. Oleh karena itu, tidak ada orang yang mampu menyingkap rahasia dan hikmah sesuatu, kecuali setelah melewati pendalaman dan penghayatan yang sungguh-sungguh. Tidak semua hikmah bisa dianalisa dengan rasio. Namun, semakin banyak diperoleh hikmah suatu amalan, semakin banyak pula makna-makna baru yang muncul darinya. Dengan ini, tuntunan agama layaknya sebuah mata air yang tak kunjung kering.

Haji adalah ibadah yang mempunyai rahasia tertentu. Selain rahasia-rahasia lahiriah seperti menambah pengalaman, mengetahui adat istiadat seluruh umat Islam, juga mengandung rahasia batiniah yang dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui apakah haji seseorang diterima oleh Allah (mabrur) atau tidak. Haji, sebagai rukun Islam yang terakhir, bukan berarti lebih ringan dari rukun Islam lainnya. Karena pada kenyataannya, semua hikmah yang ada pada syahadat, shalat, zakat dan puasa terdapat pula dalam ibadah haji.

Buat apa ”berkemah” di Padang Arafah, misalnya, yang panas dan berdebu? Apa pula gunanya berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah? Mengapa kita harus berputar-putar mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali? Dan apa pula tujuan mencukur rambut, menyembelih ternak, juga melempari tugu batu? Demikian, ibadah haji dipenuhi ritual-ritual yang tidak masuk akal, dan karenanya, bukan tidak mungkin memunculkan pikiran-pikiran nakal dalam diri kita.

Tepatlah ketika buku ini menghadirkan rahasia-rahasia terdahsyat dari berbagai ritual dalam ibadah haji yang dapat menjawab kehausan ruhani kita. Dengan mengetahui rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya itu, diharapkan kita akan mengerjakan ritual-ritual haji tanpa keraguan, tanpa syakwasangka, dan terhindar dari segala perasaan negatif yang lain. Semua itu akan kabur dan tertiup habis oleh kemantapan hati dan kekhusyu’an sehingga titel mabrur bukan lagi impian.

Kisah Perjalanan Kiai Mbeling yang Menggetarkan




Penulis : S. Maroeba
Cetakan : I, Oktober 2009
Tebal : xii + 640 hlm.
Ukuran : 13 x 20,5 cm
ISBN: 979-1283-96-6
ISBN 13: 978-979-1283-96-0
Penerbit : Matapena Yogyakarta
Harga : Rp. 65.500,-

"Ia mendatangi lokalisasi, tempat-tempat mesum, bar, pusat perjudian, dan dunia kemasiatan yang lain. Mereka butuh cahaya, katanya, dan biarlah aku mendatangi mereka dengan cahaya itu..."
Novel Nareswari Karenina adalah novel pertama dari sebuah Trilogi Kharisma Cinta(Robohnya Tembok Tradisi Kaum Santri) yang mengisahkan kisah cinta tiga perempuan aneh dalam satu ikatan mertua dan menantu, dengan para gus yang menjadi mursyid agung. Nareswari Karenina, seorang perempuan miskin yang ditinggal mati ibunya saat ia dilahirkan dan ditinggal mati bapaknya dalam kerusuhan para perkerja perkebunan tebu di Madiun pada tahun 1948. Nareswari Karenina kemudian diasuh oleh pamannya, seorang polisi yang menjadi salah satu pimpinan partai komunis ditinggkat kecamatan, dan bibinya yang juga memimpin kelompok Gerwani. Masrukhin, atau Gus Masrukhin, seorang pemuda tampan anak seorang kyai besar dengan ratusan santri. Dari sang ibu ia memiliki garis keturunan hingga Sang Nabi Saw dan dari sang ayah ia mempunyai garis keturunan hingga Rajasa Jayawardhana pendiri Majapahit. Gus Masrukhin yang biasa dipanggil Gus Rukh, adalah seorang gus yang dianggap sebagai orang jadzab sejak kecil. Langkah dan kelakuannya sehari-hari sangat kontroversial. Minuman keras, perjudian, perempuan pelacur adalah bagian dari hidupnya, disamping para kyai dan kaum santri yang memuja dan memusuhinya. Namun Gus Rukh juga memiliki kecerdasan dan kesaktian yang luar biasa sehingga pada puncaknya, dianggap sebagai seorang mursyid dan wali agung. Nareswari Karenina yang miskin dan kafir dengan Gus Rukh yang jadzab dan calon wali yang diagungkan ribuan orang. Kisah cinta mereka diawali dengan sebuah ramalan dari seorang mursyid agung dari Muntilan yang termashur sebagai seorang wali. Karenina sama sekali tidak mengenal agama, tidak bisa sholat, apalagi mengaji. Ayah kandungnya mati dalam pemberontakan Madiun dan kedua orang tua angkatnya mati dalam kerusuhan enam lima ditangan kaum santri. Maka bagaimanakah Karenina menghadapi perkawinannya yang kemudian membawanya pada posisi puncak sebagai seorang ibu nyai yang dihormati dan disegani kaum santri dan para kyai diseluruh penjuru Jawa dan Sumatra adalah kisah yang disajikan dalam novel ini. Pergulatan bathinnya menjalani hidup sebagai istri dari seorang suami yang jadzab dan kontroversial namun seorang yang dipuja sebagai wali. Pergulatan bathinnya menghadapi hujatan dan penghinaan dari kaum santri. Dan pergulatan bathinnya menjalani hidup sebagai bagian dari kaum santri yang telah menghilangkan nyawa kedua orang tua angkatnya, kedua saudara angkatnya dan menghanguskan rumah dimana ia dibesarkan. Sebuah kisah cinta yang tragis namun berbuah kebesaran (bukan kebahagiaan)!

Jihad Fi Sabili Damai...



Penulis : Alaik S.
Tebal : xvi + 108 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
ISBN : 979-25-5399-1
ISBN 13 : 978-979-25-5399-4
Harga : Rp 19.900,-


Jihad adalah sebuah aktivitas peribadatan yang memiliki derajat paling mulia. Bagaimana tidak, seorang yang berjihad (mujahid) dijanjikan untuk diampuni dosa-dosanya, langsung masuk surga, tidak disiksa di alam kubur dan masih banyak lagi lainnya. Memang iming-iming ganjaran yang diberikan sangat menggiurkan. Karena itu tidak salah kalau banyak sekali orang muslim yang berlomba-lomba untuk terlibat dalam kegiatan jihad ini.
Namun persoalannya adalah di tengah-tengah masyarakat menjamur kesalahpahaman terhadap makna jihad itu sendiri. Jihad seringkali diidentikkan dengan perang. Jihad disamakan dengan penggunaan kekerasan melawan musuh Allah. Jihad disempitkan maknanya pada menghunus pedang dan mengokang senjata. Tentu saja, pemaknaan jihad semacam ini sangat sempit dan tidak sejalan dengan ruh Islam yang mengajarkan kasih sayang dan perdamaian. Padahal, peperangan melawan musuh Allah itu baru dibenarkan kalau memang terpaksa. Seorang muslim baru dibenarkan mengangkat senjata kalau posisinya sudah terjepit. Jalan peperangan baru diambil kalau memang tidak ada opsi lain.
Jadi yang perlu disuntikkan energi penyegaran di sini adalah pada kesadaran yang melekat di benak kaum muslimin. Kesadaran tentang makna jihad yang sempit ini seharusnya bisa diperluas. Sehingga makna jihad tidak melulu identik dengan kekerasan.
Melalui buku yang memuat 40 hadits tentang makna jihad ini, penulis melakukan eksplorasi tentang sabda dan perilaku Rasulullah Saw menyangkut masalah jihad. Ternyata dalam hadits-hadits tersebut ditemukan keterangan bahwa lapangan jihad sangat luas. Segala bentuk aktivitas yang mengusung niat untuk mengembangkan agama Allah dan upaya untuk mewujudkan ketakwaan kepada-Nya memiliki derajat jihad. Jihad tidak terbatas pada peperangan. Karenanya, semoga dengan hadirnya buku ini kita bisa memperoleh pencerahan. Kita menimba wejangan-wejangan bermakna dari Rasulullah Saw.

Indahnya Bisnis Sesukses Nabi



Penulis : Khotimatul Husna
Tebal : xvi + 134 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
ISBN : 979-8452-90-9
ISBN 13 : 978-979-8452-90-1
Harga : Rp 23.900,-


Pandangan miring akan harta memang mujarab untuk menenteramkan hati, apalagi di tengah kondisi serba sulit. Dalam keadaan tertentu, hal ini justru harus dilakukan, terutama untuk mencegah terseretnya manusia ke ujung telunjuk hasrat yang selalu memerintah tanpa pandang bulu, menafikan garis demarkasi halal-haram dan baik-buruk. Islam memang mengajarkan demikian, namun tidak untuk digunakan sebagai pembenar laku malas. Sebaliknya, Islam memandang luhur kerja keras dan menghinakan minta-minta; orang yang memberi diposisikan jauh lebih tinggi daripada penerima, orang yang memiliki kepedulian sosial lebih terhormat daripada pengucil yang enggan menengok kiri-kanan.
Islam, dengan demikian, memotivasi umatnya untuk giat bekerja. Rasul sendiri pernah mengatakan—ketika melihat seseorang yang beribadah di masjid, siang malam, dengan menggantungkan kebutuhan manusiawinya kepada orang lain—bahwa pahala orang yang menanggung kebutuhannya lebih besar daripada orang yang beribadah di masjid tersebut.
Yang harus dicermati, hanyalah rambu-rambu dalam bekerja. Terlepas dari bidang suatu pekerjaan tertentu, etika kerja menjadi unsur pokok yang ditekankan Islam. Jujur, toleransi, peduli, adalah beberapa di antaranya. Selama etika kerja dipegang, tak ada masalah meski penghasilan sehari bermilyar-milyar, atau bahkan lebih.
Islam memandang segala sesuatu sebagai media ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Maka, kerja pun sesungguhnya adalah ibadah. Oleh karenanya, niat ibadah sebelum bekerja sudah pasti menghasilkan nilai lebih. Selain itu, suatu kerja yang dipandang ibadah akan lebih mendapat penghargaan dari si pekerja dan mendorongnya untuk tidak keluar dari etika kerja dan agama. Dari niat ibadah, pelaksanaannya menjadi ibadah. Tentu saja, karena kerjanya dinilai ibadah, ia akan berpikir dua kali jika suatu saat kesempatan menggodanya untuk melakukan apa yang bukan ibadah (seperti berbohong, menipu, merugikan orang lain, dan sebagainya). Dan yang tak kalah penting, seseorang yang sejak awal berniat ibadah, akan termotivasi untuk menggunakan hasilnya di jalur ibadah.
Kumpulan hadis ini memuat berbagai petunjuk Nabi Saw tentang etika dan motivasi kerja. Selamat mencermati, dan menyusuri jalan Nabi.

Kamis, 30 Oktober 2008

Tafsir Peribadatan: Agar Tak Kaku Menyikapi Perbedaan



Judul : Tafsir Ibadah
Penulis : H.MA.Sahal Mahfud
ISBN : 979-8452-48-8
Tebal : 14.5 x 21 cm
Harga : Rp35.500,-
Penerbit: Pustaka Pesantren Yogyakarta

Meskipun pada abad XI Masehi Sultan Abdul Kadir pernah menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, pada hakekatnya ijtihad sendiri tidak akan pernah benar-benar mati. Sebab, ijtihad—dalam artinya yang luas—adalah sebuah proses berpikir sehingga menafikannya berarti menggusur eksistensi kemanusiaan, meruntuhkan kenyataan bahwa al-insânu hayawân nâthiq. Oleh karena itu, meskipun di ranah pemikiran Islam kontemporer tidak ditemui adanya mujtahid baru, kegiatan berijtihad tidak pernah sepi.
Dalam konteks hukum Islam (syari’at), ijtihad selalu bersentuhan dengan teks-teks keagamaan, khususnya sumber hukum Islam yang utama, Al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, melakukan ijtihad mensyaratkan pemahaman yang memadai tentang seluk beluk yang berkaitan dengan Al-Qur’an, atau dalam istilah yang lebih spesifik, mampu melakukan penafsiran. Az-Zarqani, dalam kitabnya al-Itqân, menyebutkan bahwa yang disebut sebagai kerja menafsirkan Al-Qur’an adalah usaha untuk menguak maksud dari firman Tuhan yang tertera dalam kitab suci-Nya, sesuai kemampuan manusia. Frasa yang terakhir, “sesuai kemampuan manusia”, menunjukkan bahwa hasil penafsiran bolehlah berbeda mengingat “kemampuan” dan background masing-masing penafsir yang tidak setara. Dari sini, dapatlah dipahami mengapa Nabi Muhammad pernah menjanjikan dua ganjaran bagi para mujtahid—tentu saja para mufassir termasuk di dalamnya—yang menemukan kebenaran, dan satu ganjaran bagi mujtahid yang pendapatnya keliru.
Buku Tafsir Ibadah ini menjadi penting karena berusaha memberikan gambaran bagaimana para mujtahid mengistinbatkan hukum yang berbeda-beda, bahkan dari sebuah ayat Al-Qur’an yang sama. Dan karena itu—meskipun tata aturan (ahkâm) yang terkait dengan peribadatan tampaknya tidak banyak mengalami perubahan—menilik hukum-hukum peribadatan dari sumber aslinya bukanlah hal yang tidak bermanfaat, namun sebaliknya, akan memperkaya wacana ikhtilaf sehingga diharapkan muncul sikap saling menghormati dan saling menghargai pemikiran (baca: ijtihad) orang lain.
Sisi lain dari buku ini, tidak seperti tafsir ahkâm pada umumnya, ia tidak hanya menawarkan pemahaman fikih an sich, namun—sesuai dengan konteks ayat—juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap pemikiran-pemikiran sufistik. Tak pelak, membaca buku ini akan mengantarkan kita kepada pemahaman terhadap makna dan substansi dari peribadatan itu sendiri.
Buku Tafsir Ibadah ini memberikan satu point lagi sumbangan ulama Indonesia—dan pesantren pada khususnya—dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Sejarah mencatat, ulama Indonesia menjadi raja di Asia Tenggara dalam bidang yang satu ini. Ketika ulama di Negeri-Negeri Melayu lain belum mampu menelurkan kitab tafsir sampai hari ini, para ulama Indonesia telah menerbitkan banyak karya tafsir, bahkan yang lengkap 30 juz—mulai dari Tarjuman al-Mustafid karya Syaikh Abdurrauf as-Sinkili (pada abad ke-17), Tafsîr al-Munîr (Marâh Labîd) karya Syaikh Nawawi al-Bantani (pada abad ke-19), Tafsir al-Azhar karya Hamka (pada 1960-an), Tafsir al-Qur’aanul Madjied karya Hasbi ash-Shiddieqy (1964), hingga Tafsir al-Mishbah karya Quraysh Shihab (2005); belum lagi, kitab tafsir dalam bahasa lokal, seperti tafsir berbahasa Jawa karya Mbah Saleh Darat Semarang dan Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa Rembang; belum lagi kitab tafsir tematik atau tafsir surat-surat tertentu. Oleh karena itu, menjadi kebanggaan bagi kami untuk menerbitkan sumbangan berharga dari ulama pesantren yang satu ini.

Meneladani Laku Para Kiai




Judul : Tiga Kiai Khos
Penulis : Ainur Rofiq Sayyid Ahmad
Tebal Buku : xii + 154 Halaman
ISBN : 979 8452 12 7
Harga : Rp 18.500,-



Berbeda dengan kenabian di manapun yang hadir dengan klaim diri, otoritas kekiaian dalam tradisi Islam Nusantara muncul bukan sebagai pembaptisan diri. Sebaliknya, ia muncul sebagai pemberian dari masyarakat. Tentu saja ada prasyarat-prasyarat yang diberikan masyarakat, untuk menyebut orang tertentu sebagai “kiai” atau “tuan guru.”
Salah satunya, seseorang disebut kiai karena dia menguasai pemahaman keagamaan mendalam. Dengan penguasaan ilmunya itu, dia mengajarkannya kepada masyarakat. Ketulusan dan keikhlasan menjadi penanda lain seseorang disebut kiai. Inilah yang disebut “kiai masyarakat.”
Buku ini ingin meletakkan kekiaian sebagai sebuah sejarah, yang tidak tiba-tiba muncul bahwa orang tertentu disebut kiai, misalnya. Sebaliknya, kekiaian ditampilkan sebagai sejarah panjang dari pengabdian seseorang yang mumpuni dalam bidang keagamaan dan masyarakat.
Dalam buku ini, cara menjelaskan kekiaian itu adalah dengan menampilkan tiga sosok kiai sepuh di ujung timur pulau Jawa. Tiga kiai itu adalah KH. Askandar (ayah dari KH. Dawam Iskandar, KH. Noer Iskandar al-Barsany, dan KH. Noer Iskandar, SQ. pendiri PP. Mambaul Ulum); KH. Mukhtar Syafaat, pendiri PP. Darussalam; dan KH. Imam Zarkasy Djunaidi yang membuat PP. Bustanul Makmur berkembang pesat.
Ketiga kiai ini adalah kiai sepuh dari Banyuwangi yang semuanya telah meninggal, namun hasil didikan dan warisan kekiaiannya banyak dipelajari orang. KH. Askandar adalah pejuang kemerdekaan yang pernah mendekam di penjara Belanda; KH. Mukhtar Syafaat adalah pengagum dan pengembang tasawuf Ghazalian; dan KH. Imam Zarkasy Djunaidi dikenal ulung berdiplomasi dan mendamaikan konflik.
Perjalanan sejarah dari tiga kiai ini sungguh merupakan cerita panjang tentang sosok seorang yang pantas disebut kiai. Mereka bukan “kiai sepuhan,” tetapi “kiai sepuh masyarakat”. Di tengah jamaknya orang mengaku sebagai kiai, banyak pelajaran yang bisa diambil dari ketiga kiai ini.

Berjumpa 26 Nabi



Judul : Berjumpa 26 Nabi
Penulis : Argawi Kandito
Tebal Buku : xv + 128 Halaman
ISBN : 979 8452 526
Harga : Rp 27.500,-


Menurut al-Ghazali, panca indera sebagai sarana pemerolehan hakikat pengetahuan sangatlah terbatas. Bahkan, dia sangat kecewa dengan keterbatasan ini. Dia menunjukkan hasil pengamatannya bahwa ternyata tongkat menjadi melengkung ketika dimasukkan ke dalam air. Matanya ternyata menipu keadaan yang sesungguhnya. Tongkat itu masih tetap lurus, namun mata melihatnya sebagai tongkat bengkok. Al-Ghazali melihat, mata sebagai sarana empiris, ternyata sudah “menipu.”
Peristiwa semacam ini bukan tidak mungkin terjadi pada kasus kasus lainnya, termasuk dalam kasus ilmu pengetahuan modern. Sebagaimana disinggung oleh Sayyid Hussein Nasr, manusia modern saat ini telah memberontak melawan Tuhan. Sebab, mereka telah menciptakan sains yang tidak berlandaskan cahaya intelek, namun berdasarkan kekuatan akal (rasio) semata untuk memeroleh data melalui indera. Dan ini berarti, masih menurut Nasr, peradaban modern telah ditegakkan di atas landasan konsep tentang manusia yang tidak menyertakan hal paling esensial dari manusia itu sendiri.
“Kehidupan di dunia ini tampaknya masih tidak memiliki horizon spriritual. Hal ini bukannya horizon spiritual itu tidak ada, namun karena yang menyaksikan panorama kehidupan kontemporer ini sering kali adalah manusia yang hidup di pinggir (periphery atau rim) lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu atau pusat (axis atau centre) lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya dengan jari-jari tersebut.”
Padahal, untuk dapat mencapai level eksistensi, manusia harus mengadakan pendakian spiritual dan melatih ketajaman intellectus. Ditandaskan Nasr, pengetahuan fragmentaris tidak dapat digunakan untuk melihat realitas yang utuh, kecuali jika pada dirinya terdapat visi intellectus tentang “yang utuh” itu. Demikian pula, setiap pengetahuan yang utuh tentang alam ini tidak dapat diraih melainkan harus melalui pengetahuan dari pusat (centre), atau axis karena pengetahuan ini sekaligus mengandung pengetahuan tentang yang ada di pinggir dan juga ruji-ruji yang menghubungkannya. Lebih gamblangnya, manusia dapat mengetahui dirinya secara sempurna, hanya bila ia mendapat bantuan ilmu Tuhan. Sebab, keberadaannya yang relatif hanya akan berarti bila diikatkannya pada Yang Absolut, Tuhan.
Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan salah satu bentuk upaya menembus kebuntuan intelektual dan melompati keterbatasan dunia empiris tersebut. Sebagaimana kita tahu, dan ini harus kita akui, sumber-sumber informasi seputar pengalaman dan kehidupan para nabi sangat terbatas. Jika kita mengandalkan nash-nash yang ada, alih-alih tentang hal-hal yang mendetail, cerita hidup mereka secara garis besar pun terkadang masih kabur dan simpang siur, banyak diperdebatkan dan dipertentangkan (Misalnya, tentang siapakah yang disembelih oleh Ibrahim as., Ismail ataukah Ishak, sampai hari ini masih terus diperdebatkan antara umat Muslim dan umat Yahudi. Sayangnya, Al-Qur’an pun tidak pernah mengatakan secara gamblang bahwa yang disembelih adalah Ismail atau Ishak—Al-Qur’an hanya menyatakan “anak” Ibrahim). Belum lagi perdebatan tentang shahih tidaknya nash yang dijadikan landasan.
Oleh karena itu, buku ini lahir sebagai informasi alternatif tentang kehidupan para nabi yang digali dari alam spiritualitas. Banyak data yang tidak pernah kita temukan di buku-buku sejarah maupun cerita-cerita israiliyat, akan kita temukan dalam buku ini. Sebab, penulis buku ini—seorang remaja yang masih sekolah di SMP—telah mengalami “ketersingkapan” dan “berjumpa” dengan para nabi, lalu bertanya berbagai hal kepada mereka. Tentu saja, percaya atau tidak percaya, seluruhnya diserahkan kepada para pembaca. Namun bagaimanapun, setidaknya banyak informasi baru yang akan pembaca peroleh, yang dapat mengisi keterbatasan data tentang para nabi yang selama ini ada.